Kontras atau sangat berbeda jauh dengan apa yang pernah saya alami waktu jaman sekolah dulu. Itulah yang melintas dipikiran saya ketika melihat sopir angkot di bandung memperebutkan seorang penumpang, apalagi ia hanya seorang anak sekolah. "Ayo neng.. kosong.. ayo... langsung jalan" rayu supir angkot yang ditanggapi dengan muka kecut & tidak perduli anak sekolah itu.
Pada masa sekolah saya dulu, terutama saat duduk dibangku SD & SMP (pada rentang tahun 1994-2003), sangat sulit untuk mendapatkan transportasi ke sekolah apalagi transportasi pulang dari sekolah. Saya tinggal di argapura & sekolah saya di hamadi angkatan laut. Antara rumah dan sekolah, angkot yang saya tumpangi harus melewati pasar di hamadi. Selain di pagi hari banyak ibu-ibu yang akan pergi ke pasar, anak sekolah biasanya membayar angkot lebih murah dibanding masyarakat umum.
Mungkin hal ini yang menyebabkan sebagian besar supir angkot di kota jayapura enggan mengangkut anak sekolah. Kemungkinan lainnya adalah mereka tidak suka dengan beberapa anak sekolah yang suka mengotori taxi (baca: angkot) mereka atau memenuhi kursi belakang dengan coretan-coretan seni khas anak sekolah. Walau begitu saya suka dengan sopir angkot di jayapura karena mereka tidak pernah "ngetem".
Mungkin hal ini yang menyebabkan sebagian besar supir angkot di kota jayapura enggan mengangkut anak sekolah. Kemungkinan lainnya adalah mereka tidak suka dengan beberapa anak sekolah yang suka mengotori taxi (baca: angkot) mereka atau memenuhi kursi belakang dengan coretan-coretan seni khas anak sekolah. Walau begitu saya suka dengan sopir angkot di jayapura karena mereka tidak pernah "ngetem".
Di pagi hari terkadang saya terlambat ke sekolah hanya karena terlalu lama menunggu angkot, tapi kadang hati saya sedikit terhibur ketika sudah mendapat angkot ke sekolah dan ternyata angkot yang saya tumpangi melewati teman sekelas saya (sebut saja: Frans Raunsay) yang ternyata melambai-lambaikan tangan berharap bisa menumpangi angkot yang saya tumpangi, sayangnya angkot itu sudah penuh. Sayapun melambai-lambaikan tangan dan menebar senyum kepadanya.
Sesampainya di sekolah sekitar jam 7 lewat 20 menit, sambil berjalan santai ke kelas terlintas pikiran "ah.. paling juga belum ada guru di kelas". Ternyata hari itu saya sedang sial, didalam kelas sudah menunggu guru Fisika, ada 2 guru fisika di SMP kami, biasanya guru yang 1 (yang lebih ramah) yang sering mengajar kami, tapi entah kenapa pada hari keterlembatan saya guru yang satunya lagi (yang kurang ramah) yang sedang duduk sambil mempersiapkan materi di kelas kami.
saya mengetuk pintu kelas: "tok.. tok.. tok.. selamat pagi pak", guru itu menjawab: pagi.. sini kamu!. Anak-anak dikelas sudah senyum-senyum, saya pun senyum-senyum sambil menundukan kepala dan berjalan menghampiri pak guru.
Pak Guru : Kenapa terlambat?
saya : tunggu angkot lama pa'guru
Pak Guru : ko tinggal dimana jadi?
saya : ah.. di argapura pa' guru..
Pak guru itu kemudian mulai mencubit dada saya (untungnya saya ini laki-laki), saya ingat ia memelintir jari-jarinya sekuat tenaga sambil memberi nasehat (menceritakan hal ini kembali membuat dada saya kembali terasa sakit). katanya, "Pak guru saja tinggal di jayapura bisa datang lebih cepat dari kamu, duduk sana!". Sambil menahan rasa sakit dan masih senyum-senyum (agar terlihat hebat oleh teman-teman) saya-pun berjalan ke bangku saya. Pikir saya " apakah yang akan terjadi dengan Frans nanti?".
Di hari lainnya di masa SD, sepulang sekolah saya bertemu dengan kakak saya (alm.), ia satu tingkat diatas saya, karena biasanya kami pulang sekolah di jam yang berbeda, kami lebih sering pulang kerumah sendiri-sendiri, saat itu kebetulan kami pulang di jam yang sama. Saya ingat saat itu uang saku kami adalah 300 rupiah, dengan perincian sebagai berikut, 100 angkot ke sekolah, 100 jajan, dan 100 angkot pulang. 100 rupiah berlaku untuk biaya angkot anak sekolah, orang dewasa biasanya membayar 200 rupiah.
Biasanya sepulang sekolah saya lebih memilih untuk jalan kaki karena seluruh uang sudah saya gunakan untuk jajan, biasanya membeli minum (air es) setelah lelah bermain bola di sekolah, jarak dari sekolah ke rumah sekitar 3 km, jalan menanjak yang kadang membuat saya malas berjalan kaki, tetapi jika dibandingkan dengan rumah teman saya Frans yang benar-benar diatas gunung (dan setiap pulang sekolah ia lebih sering berjalan kaki), tentu jarak rumah saya bukan apa-apa. Resiko lainnya jika berjalan kaki sendirian adalah di palak di Hamadi Gunung, sasaran empuk pemalakan adalah orang pendatang, walau saya blesteran Papua saya juga sering jadi korban walau lebih sering lolos karena kecepatan berlari saya, yang lebih menyedihkan seperti apa yang terjadi dengan teman baik saya (sebut saja Nelson Dudung), ia pernah dipalak dan dipukul diperutnya. Saya sangat sedih/ketakutan ketika mendengar ceritanya.
Saat itu ada 100 rupiah disaku saya, kakak saya juga saat itu masih punya 100 rupiah di kantongnya, kami memutuskan untuk naik taxi pulang ke rumah. Sekitar 2 jam tidak satupun angkot dari puluhan angkot yang lewat bersedia mengangkut kami dan beberapa anak sekolah lainnya, akhirnya setelah beberapa saat menunggu ada angkot yang berhenti yang langsung jadi rebutan. Ayo naik.. cepat naik...kata hendra (alm. kakak saya). Sayapun langsung bergegas naik, sayangnya kakak saya tidak mendapat tempat lagi karena angkot yang sudah penuh.
Saya duduk tepat di dekat jendela kiri bagian belakang. Supir Angkot itu kemudian mengatakan,"100 turun di pasar.. (dengan logat khas-nya)", saya kemudian panik "hendra.. bayar 200!", teriak saya. Biasanya kalo 100 turun di pasar artinya lewat dari pasar harus bayar lebih (200 rupiah). Hendra kemudian mencabut 100 rupiah dari kantongnya dan memberikannya pada saya.
Setelah angkot jalan, saya menyadari kalau hendra akan pulang berjalan kaki setelah berjam-jam kami menunggu angkot, karena uang disakunya juga hanya 100 rupiah. Sebagai wujud solidaritas saat itu saya turun di pasar, membayar 100 rupiah dan berjalan kaki juga pulang ke rumah (sebenarnya karena saat itu semua anak sekolah turun di pasar, sehingga saya juga ikut-ikutan turun).
Pada masa SMA kebetulan saya sekolah di sekolah unggulan kota jayapura yang memang menyediakan bus untuk antar dan jemput siswa ke rumah dan sekolah dan memang lokasi SMA saya tidak dilewati angkutan umum (kecuali ojek).
Setelah SMA saya lebih banyak menghabiskan waktu diluar kota, beberapa kali saya kembali ke kota kesayangan kota jayapura, tentu bukan lagi sebagai anak sekolah. Sopir angkot di kota Jayapura masih seperti dulu dan masih didominasi oleh (maaf) suku tertentu. Saya berharap apa yang saya alami saat sekolah dulu sudah tidak lagi terjadi saat ini, dan harapan saya (dan mungkin sudah terealisasi) pemerintah juga memperhatikan transportasi murah/gratis untuk anak sekolah. (SB)
0 komentar:
Post a Comment